Friday, August 28, 2009

Tertipu


Dulu, kumenulis beratus puisi
untuk melukiskan rindu
Bermain ribuan kata mesra
dalam rangkaian kalimat merayu
Menuang angan pada puluhan tulisan
penuh hasrat malu-malu mau
Atau merajut jutaan aksara demi
terlampiaskan rasa cemburu

Kini aku tak mampu...
Lidahku kelu, pikiranku buntu.
hatiku ragu, tanganku terbelenggu.
Tiap susunan huruf di kepala terasa semu
Jalinan syair seolah bermuka palsu,
menguapkan asa dalam kebencian yang membeku
menebar bumbu pilu
mengubur mimpi-mimpi bisu
antara aku dan kamu.

Benar-benar ku tlah tertipu.


Titip Rindu Pada Awan




tengadahku pada iringan kapas putih

di langit biru pagi
untuk sekejap membuai jiwa
atas ulah resah yang mengusik
berisik mencubiti pembuluh nadi

tersenyumku pada bongkahan kapuk
berselimut cakrawala
untuk sekedar melepas angan
atas pahit manis memori
yang mengikat sukma
diam-diam di hati

tercekatku pada kumpulan kabut
yang membumbung
di kejauhan angkasa
untuk sebentar melamun
atas ketidakberdayaan diri
hadapi riuh getir
dalam dada

termenungku pada gumpalan awan
yang mampir di atas jendela
untuk sejenak bertanya
mungkinkah dapat kutitip pesan
atas rindu yang kadang menyesakkan
pada orang-orang terkasih
di negeri kepulauan
.......



Diam


Bukannya diamku marah

Bukannya diamku mungkir
Bukannya diamku mampet
Bukan pula malas...
atau mutung.


Hanya,
ada yang harus dijaga.
dalam hening waktu bicara
dalam ukiran harap mengangkasa
dalam jenak meniti do'a





Aku masih disini..
terpaku menatap raga
luluh rapuh dilanda dosa
tenggelam bungkam terhempas nista


Diam.

Terpejam.

agar lilin itu tetap nyala terjaga
bagai janji setia pada-Nya




Jerat was was


Terik menghujam bumi
kala bayang rapuh meniti langkah
Desir angin gamang kian menggoda sumpah
Ragu meliuk, mengerling, memutar arah
Bising bercampur aduk pada sudut gelap berjelaga
Tawa, tangis, rintih, murka
Tarik ulur tumpang tindih lumpuhkan waras
Berselang seling antara laju roda waktu yang menggilas
kadang malas kerap was-was

Sadar !
atau kutampar
Buyar !
sebelum menyala gusar

Apa mengatur siapa ?
Lawan kecamuk diri
Perangi sang hawa di tepi

Kaki yang lumpuh atau hati menyerah mati ?
Rela menelan kalah umpama bayang tumbang
di siang hari