Sunday, September 20, 2009

Istirahat

Getir tlah lama kutelan bulat
sampai airmata tak lagi asin dijilat
Gelisah menggeliat tanpa penat
Bergemuruh dalam syaraf yang pekat

Otakku sarat,
Hatiku berkarat

Rihnii bish-sholaah ...

: istirahatkan aku dengan Sholat.



[ 6107, 08/05/09, 04.15 pm ]



Pisang Goreng


Dingin yang menggigit
Merayapi liar pada jari-jari kaku
Kala tiba-tiba kenangan terbersit
Mengusik urat di atas bibirku

Manis, hangat, lembut.....
Kan kukunyah sampai bersemu
Kenyal menari di tengah mulut
Temani hasrat terbang merindu

Dimana gerangan pisang goreng itu ?






*********

6107, dibalut gigil tak bertepi

Friday, August 28, 2009

Tertipu


Dulu, kumenulis beratus puisi
untuk melukiskan rindu
Bermain ribuan kata mesra
dalam rangkaian kalimat merayu
Menuang angan pada puluhan tulisan
penuh hasrat malu-malu mau
Atau merajut jutaan aksara demi
terlampiaskan rasa cemburu

Kini aku tak mampu...
Lidahku kelu, pikiranku buntu.
hatiku ragu, tanganku terbelenggu.
Tiap susunan huruf di kepala terasa semu
Jalinan syair seolah bermuka palsu,
menguapkan asa dalam kebencian yang membeku
menebar bumbu pilu
mengubur mimpi-mimpi bisu
antara aku dan kamu.

Benar-benar ku tlah tertipu.


Titip Rindu Pada Awan




tengadahku pada iringan kapas putih

di langit biru pagi
untuk sekejap membuai jiwa
atas ulah resah yang mengusik
berisik mencubiti pembuluh nadi

tersenyumku pada bongkahan kapuk
berselimut cakrawala
untuk sekedar melepas angan
atas pahit manis memori
yang mengikat sukma
diam-diam di hati

tercekatku pada kumpulan kabut
yang membumbung
di kejauhan angkasa
untuk sebentar melamun
atas ketidakberdayaan diri
hadapi riuh getir
dalam dada

termenungku pada gumpalan awan
yang mampir di atas jendela
untuk sejenak bertanya
mungkinkah dapat kutitip pesan
atas rindu yang kadang menyesakkan
pada orang-orang terkasih
di negeri kepulauan
.......



Diam


Bukannya diamku marah

Bukannya diamku mungkir
Bukannya diamku mampet
Bukan pula malas...
atau mutung.


Hanya,
ada yang harus dijaga.
dalam hening waktu bicara
dalam ukiran harap mengangkasa
dalam jenak meniti do'a





Aku masih disini..
terpaku menatap raga
luluh rapuh dilanda dosa
tenggelam bungkam terhempas nista


Diam.

Terpejam.

agar lilin itu tetap nyala terjaga
bagai janji setia pada-Nya




Jerat was was


Terik menghujam bumi
kala bayang rapuh meniti langkah
Desir angin gamang kian menggoda sumpah
Ragu meliuk, mengerling, memutar arah
Bising bercampur aduk pada sudut gelap berjelaga
Tawa, tangis, rintih, murka
Tarik ulur tumpang tindih lumpuhkan waras
Berselang seling antara laju roda waktu yang menggilas
kadang malas kerap was-was

Sadar !
atau kutampar
Buyar !
sebelum menyala gusar

Apa mengatur siapa ?
Lawan kecamuk diri
Perangi sang hawa di tepi

Kaki yang lumpuh atau hati menyerah mati ?
Rela menelan kalah umpama bayang tumbang
di siang hari



Thursday, June 4, 2009

Kosong


Tak ada lagi sepotong kalimat merah jambu
Yang membuat hati merekah
atau membentuk seulas lengkungan di bibir
Hingga semangat terbakar sepanjang hari

Tak ada lagi sebaris rindu menyapa penat
Tak ada pula teguran ringan
ketika pagi baru mengintip

Tiada bait rayu manja pada tepi malam
pun tak tertera kabar keriangan
di seberang sana

Hampa.
Barisan garis bisu seolah larut
dalam kenestapaan

Kosong.
dari waktu ke waktu
coretan itu sungguh lenyap



Ledakan Rindu


Tahukah kau rasa menahan rindu ?

Memeram dalam lubuk, terpasung antara jarak pun waktu.
Menyimpan percikan memori
di bawah buaian angan,
hingga merasuki mimpi hari-hari.
Baranya hangat
meletup-letup dalam detak jantung
memburu.

Oh betapa kunanti ledakannya saat bertemu !
Berpijar laksana puluhan kembang api
mengerling mesra pada bintang,
merayu bulan di langit kelam.
Berdentam mengejutkan...
memukau mata,
menjajah telinga,
membungkam kata.
Memompa getar-getar rinduku padamu
yang sungguh terlalu.


Ia Bermuka Masam


Sepotong harga diri penuh karat terjun bebas ke lembah nista.

Setelah sebelumnya tercabik oleh tatapan jijik,
cibiran mual dan dengusan sinis.
Koyak ia oleh tikaman kebencian
remuk redam digilas roda amarah yang tak kunjung punah.

Berani betul dia memvonis semena-mena...
mengumbar maaf pada jejak lusuhku
tatkala bersimpuh mengaku pasrah
mengais kemurahan hati dalam lumuran tangis darah

Siapa dia bermuka masam berpaling acuh...
pada setangkup salam pembuka
yang kuhatur gemetar
membuka sebuah sapa ?

Diriku memang sampah.
Hanya pengganggu yang tak tahu malu.
pengusik keji tak terampuni
penebar ftnah, pembuat resah tak tertandingi

Namun, siapa dia yang tega menginjak harga diriku ?
saat telah kugadai semua kebanggaan dan rasa malu pada Rabb-ku.